Kami siapkan soal latihan US,UN, UKA/UKG-PLPG, CPNS dan ebook serta Software untuk Anda, buat apa “Repot-Repot” download ke-sana ke-mari di internet, akses saja di "blog" ini praktis mudah dan gampang, semoga bermanfaat !!!.

Sukses karena Memberi !!!!

http://www.yuswohady.com/wp-content/uploads/2014/05/Give-and-Take-Book-Cover1.jpgKetika keserakahan meradang, dunia yang kita ciptakan adalah dunia muram yang penuh diwarnai saling sikut, makan, fitnah, dan membinasakan. Jika demikian, manusia bisa menjadi “predator” bagi manusia lain. 

Aksi predator ini terjadi diberbagai lapangan, mulai dari karier, bisnis, maupun politik. Tempat kerja, misalnya, sekadar menjadi ajang perebutan posisi dan jabatan. Karyawan saling sikut. Pasar menjadi ajang persaingan bisnis mematikan (survival of the fittest) dimana yang besar menggurita menumpas yang kecil. Pemilu yang begitu terhormat bisa tersulap menjadi ajang saling fitnah dan penghancuran karakter lawan politik. 

Sumbernya adalah satu, yaitu masing-masing dari kita selfish, menempatkan kepentingan diri pribadi di atas kepentingan mana pun. Dengan mindset seperti ini, kita berlomba-lomba untuk menjadi yang paling hebat, kaya, populer, pintar, dan berkuasa. Selain itu, untuk menjadi yang paling hebat di karier, bisnis, atau politik, kita harus bersaing mengalahkan orang lain, kalau perlu dengan menghalalkan segala cara. 

 Kalau sudah demikian, kita cenderung membenamkan diri pada jebakan permainan menang-kalah (zero-sum game), yaitu menangnya kita membawa akibat kalahnya orang lain, besarnya kita membawa konsekuensi kecilnya orang lain, dan kuatnya kita berujung pada lemahnya orang lain. 

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang makin egois dan bisa destruktif ini, percik-percik pemikiran Adam Grant dalam buku Give and Take (Viking, 2103) menjadi sebuah oase yang menyejukkan. Melalui buku yang dinobatkan sebagai buku terbaik 2013 oleh Amazon, Financial Times, Wall Street Journal, Fortune, dan Washington Post ini, Grant menyodorkan sebuah alternatif pendekatan baru kepada kita dalam meniti tangga-tangga kesuksesan. 

Pendekatan baru ini menggeser paradigma dari self-centered ke other-centered, dari mindset kelangkaan (scarcity) ke keberlimpahan (abundance), dan dari pandangan banyak menuntut (taking-focused) ke banyak memberi (giving-focused). 

Taker, Giver, dan Matcher 

Dengan menyajikan riset akademis yang ekstensif, profesor termuda sekolah bisnis Wharton ini (kini 31 tahun) meyakinkan kita semua bahwa memberi (uang, waktu, tenaga, ilmu, atau pengalaman) dan membantu orang lain bisa menjadi faktor penentu kesuksesan yang luar biasa dalam karier, bisnis, maupun politik. Untuk membuktikan tesisnya, Grant membagi tiga tipe orang berdasarkan reciprocity style mereka dalam berelasi sosial, yaitu Taker, Giver, dan Matcher. 

Taker adalah sosok selfish yang selalu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang lain. “Kepentingan diri sendiri adalah panglima,” begitu kira-kira semboyan hidup tipe ini. Mereka cenderung tak peduli pada orang lain, atau peduli sejauh itu menguntungkan bagi dirinya. Dalam setiap relasi dengan pihak lain, mereka selalu berpikir harus mendapatkan lebih banyak dari orang lain, dibanding yang diberikan, “get more than they give.” 

Sosok Taker meyakini dunia ini penuh persaingan kejam yang satu sama lain harus saling memakan (“dog-eat-dog” world). Untuk sukses, mereka harus lebih unggul dan bisa mengalahkan orang lain. Untuk sukses dalam karier, bisnis, atau politik, mereka harus mampu melemahkan, bahkan membinasakan orang lain sehingga berhasil menjadi stand-out bertabur kepongahan dan decak kagum. Dunia Taker adalah dunia sikut-sikutan yang destruktif dan melelahkan. Sebagian besar dari kita memiliki mindset Taker ini. 

Giver memiliki mindset yang bertolak belakang dibanding Taker. Giver selalu menginginkan memberi lebih banyak ke orang lain dibanding yang mereka dapat, “give more than they get”. Kalau Taker selalu self-focused, Giver justru other-focused. Mereka lebih fokus memberikan kontribusi dan manfaat kepada orang lain ketimbang mendapatkan sesuatu dari orang lain. Kenikmatan hidup seorang Giver didapat ketika mereka bisa memberikan waktu, tenaga, uang, atau ilmu kepada orang lain tanpa berharap mendapat imbalan.

Lalu apa itu Matcher ? Matcher ada di tengah-tengah antara Taker dan Giver. Mereka memiliki mindset, ketika memberikan sesuatu kepada orang lain, mereka harus mendapatkan imbalan yang sepadan. Kalau Giver ikhlas memberikan kemanfaatan kepada orang lain, Matcher selalu berhitung dengan jeli antara apa yang diberikan dan apa yang didapat. Pola pikir Matcher selalu dilandasi prinsip keadilan dan pertukaran kemanfaatan yang ditelisik betul cost benefit-nya. 

Mencengangkan 

Pertanyaannya, mana di antara Taker, Giver, dan Matcher yang paling sukses dalam karier, bisnis, dan politik ? Secara common sense, Anda pasti sependapat dengan saya bahwa Taker berkecenderungan paling sukses dan Giver paling tidak sukses. Ya, hal ini karena Anda pasti menduga bahwa Taker adalah sosok yang high achiever dan ambisius; sementara Giver adalah sosok yang nrimo, tak punya ambisi, rela berkorban untuk kebaikan orang lain, dan bahkan ikhlas mengorbankan kesuksesannya demi kesuksesan orang lain. 

Dugaan Anda tepat. Survei Grant mengonfirmasi hal tersebut. Kalau digambarkan dalam “tangga kesuksesan” (success ladder) dengan dasar tangga menunjukkan orang-orang yang paling tidak sukses (“bottom performers”), sementara puncak tangga mewakili orang-orang yang paling sukses (“top performers”). Survei Grant di berbagai lapangan pekerjaan, dari dokter, insinyur, salesman, pengusaha, hingga politisi menemukan bahwa posisi bottom performers banyak didominasi sosok Giver. 

Pertanyaannya kemudian, mana dari Taker, Giver, dan Matcher yang menduduki posisi top performer ? Sekali lagi dengan common sense, Anda pasti menduga top performers akan banyak diisi oleh para Taker yang ambisius bahkan sering kali menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan dan meraih kesuksesan. Anda salah besar. 

Survei Grant menghasilkan temuan yang mencengangkan, karena rupanya posisi top performers banyak didominasi oleh para Giver juga. Menariknya, Taker dan Matcher justru memiliki capaian medioker alias mencapai kesuksesan yang setengah-setengah.

Melalui karya masterpiece ini, Grant memberi insight luar biasa yaitu untuk sukses, Anda tak harus menjadi “predator” bagi orang lain. Anda tak harus menjadi Taker. Anda bisa mencapai puncak tangga kesuksesan dengan keutamaan karakter mulia, spirit of giving, mental keberlimpahan, keikhlasan untuk menjadi rahmat bagi orang lain, membantu dan memberi kemanfaatan bagi sesama, serta menjadi “kendaraan” bagi kesuksesan orang lain.

Seperti diuraikan buku ini, kesuksesan seorang Giving Leader (pemimpin dengan karakter seorang Giver) memiliki fondasi yang kokoh dan bersifat langgeng dibanding Taking Leader. Kenapa? Buku ini memberikan jawaban meyakinkan. “Sukses Lari Maraton” Salah satu argumentasi yang ditawarkan adalah bahwa kesuksesan Giving Leader menciptakan apa yang disebut Grant “ripple effect”, yaitu sukses mereka menghasilkan keberhasilan bagi orang-orang di sekitarnya. 

Benih kebaikan dan kemanfaatan ini berkembang pelan-pelan sehingga kemudian membentuk goodwill berupa kepercayaan (trust), reputasi, empati, koneksi emosional, atau pengertian di kalangan orang-orang yang telah dibantu dan mendapatkan manfaat darinya. Itu semua menjadi “modal sosial” kunci bagi kesuksesan jangka panjang si Giving Leader. 

Di kalangan Giving Leader, hukum “mestakung” (semesta mendukung) bekerja dengan sangat massif. Dalam bahasa awam, hal ini sering disampaikan dengan ungkapan, “the more you give, the more you get”. Karena itu, sosok Giving Leader adalah tipe pemimpin yang merintis kesuksesan dalam kurun waktu lama, bukan kesuksesan instan.

Di tingkat dunia, kita mengenal sosok Giving Leader seperti Anita Roddick (The Body Shop), Muhammad Yunus (Grameen), Tony Hsieh (Zappos), atau Blake Mycoskie (TOMS) yang memimpin perusahaan mereka dengan prinsip-prinsip giving seperti dirumuskan Adam Grant. 

Sementara itu, di Indonesia, selama setahun terakhir, saya melakukan riset untuk mengkaji Giving Leader di Tanah Air. Saya menemukan sosok-sosok seperti Jakob Oetama (Kompas-Gramedia Group), Sudhamek (Garuda Food), Arief Yahya (Telkom), Johari Zein (JNE), David Marsudi (D’Cost), atau Mohammad Nadjikh (Grup Kelola Mina Laut) yang memimpin dengan keikhlasan (selfless), mentalitas berkelimpahan (abundance), dan cinta (love) untuk melayani dan memberikan kemanfaatan bagi orang lain baik konsumen, masyarakat, bahkan negara. 

Ada karakteristik yang sama dari para Giving Leader itu. Mereka memosisikan perusahaan yang mereka pimpin bukan sebagai economic animal yang menjadi predator bagi pihak lain, melainkan sebagai katalisator perubahan menuju kebaikan bagi konsumen, masyarakat, dan negaranya. “They are servants who facilitate the success of others.” Mereka membawa perusahaan yang mereka pimpin menjadi rahmat bagi umat manusia dan alam semesta (rahmatan lil alamin). 

Dengan spirit of giving, mereka mampu membawa perusahaannya tak hanya mencapai kesuksesan, tetapi juga kemuliaan. Dengan gaya kepemimpinan humanis penuh cinta, Jacob Oetama mengarahkan KKG untuk turut memberikan andil dalam pengembangan Indonesia, seperti pernah dikatakannya, “Bersyukur kita dipercaya menjadi perantara rahmat bagi banyak orang.” Arief Yahya mendorong setiap Telkom-ers “berpikir mega” yaitu Telkom harus membawa berkah pertama-tama bagi negara, masyarakat, konsumen, dan baru kemudian terakhir kepada perusahaan. 

Prinsip dasar yang selalu diajarkannya ke karyawan adalah “the more you give, the more you get.” Mohammad Nadjikh punya cara sendiri untuk menjalankan prinsip giving dalam mengelola perusahaannya. Melalui Grup Mina Kelola Laut, ia berjuang mengangkat taraf hidup nelayan dengan membangun pabrik-pabrik pengolahan ikan di sepanjang pantai Nusantara untuk menampung hasil tangkapan mereka. (Sumber harian Kompas 9 Mei 20014)

Judul buku : Give and Take: A Revolutionary Approach to Success Pengarang: Adam Grant Halaman: 320 Penerbit: Viking, 2013

Artikel terkait


No comments :

Post a Comment